Suku
Mamasa
Suku Mamasa, adalah suatu komunitas masyarakat
asli yang berada di kabupaten Mamasa di provinsi Sulawesi Barat. Masyarakat
suku Mamasa tersebar di seluruh kecamatan di kabupaten Mamasa. Selain itu
populasi suku Mamasa juga terdapat di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.
Suku Mamasa merupakan bagian dari sub-suku Toraja. Secara adat-istiadat dan budaya, berkerabat dengan suku Toraja. Selain itu bahasa Mamasa juga mirip dengan bahasa Toraja. Oleh karena itiu suku Mamasa ini sering juga disebut sebagai suku Toraja Mamasa. Tapi walaupun orang Mamasa mengaku berdarah Toraja, tapi mereka cenderung lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku To Mamasa. Selain itu masyarakat suku Mamasa tidak memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana upacara adat di Toraja.
Orang Mamasa sebagian masih ada yang mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur mereka, yang disebut "Ada' Mappurondo" atau "Aluk Tomatua". Tradisi agama tradisional ini tetap terpelihara dan terus terwariskan ke generasi berikutnya. Tradisi dari Ada 'Mappurondo ini dilaksanakan terutama setelah panen padi berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen mereka.
Ada satu tradisi dari agama tradisionl suku Mamasa, yang unik dan mungkin tidak ada di daerah lain, aitu tradisi penguburan orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang jenazah berjalan dengan sendirinya menuju kuburan yang telah disiapkan. Mereka percaya bahwa semua mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan berada di tempat yang sama dalam kehidupan sesudahnya,
Suku Mamasa memiliki rumah adat yang berfungsi sebagai rumah tinggal di masa lalu maupun sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Rumah adat suku Mamasa ini sangat unik, yang menurut mereka menyerupai bentuk kapal, seperti kapal-kapal para nenekmoyang mereka ketika berangkat dari negri asal, menyeberangi laut dan berhenti di daerah ini melalui hulu sungai. Rumah adat suku Mamasa mirip dengan rumah adat suku Toraja. Kemiripan ini dikarenakan memang asal-usul suku Mamasa dan suku Toraja adalah berasal dari satu rumpun.
Suku Mamasa merupakan bagian dari sub-suku Toraja. Secara adat-istiadat dan budaya, berkerabat dengan suku Toraja. Selain itu bahasa Mamasa juga mirip dengan bahasa Toraja. Oleh karena itiu suku Mamasa ini sering juga disebut sebagai suku Toraja Mamasa. Tapi walaupun orang Mamasa mengaku berdarah Toraja, tapi mereka cenderung lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku To Mamasa. Selain itu masyarakat suku Mamasa tidak memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana upacara adat di Toraja.
Orang Mamasa sebagian masih ada yang mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur mereka, yang disebut "Ada' Mappurondo" atau "Aluk Tomatua". Tradisi agama tradisional ini tetap terpelihara dan terus terwariskan ke generasi berikutnya. Tradisi dari Ada 'Mappurondo ini dilaksanakan terutama setelah panen padi berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen mereka.
Ada satu tradisi dari agama tradisionl suku Mamasa, yang unik dan mungkin tidak ada di daerah lain, aitu tradisi penguburan orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang jenazah berjalan dengan sendirinya menuju kuburan yang telah disiapkan. Mereka percaya bahwa semua mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan berada di tempat yang sama dalam kehidupan sesudahnya,
Suku Mamasa memiliki rumah adat yang berfungsi sebagai rumah tinggal di masa lalu maupun sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Rumah adat suku Mamasa ini sangat unik, yang menurut mereka menyerupai bentuk kapal, seperti kapal-kapal para nenekmoyang mereka ketika berangkat dari negri asal, menyeberangi laut dan berhenti di daerah ini melalui hulu sungai. Rumah adat suku Mamasa mirip dengan rumah adat suku Toraja. Kemiripan ini dikarenakan memang asal-usul suku Mamasa dan suku Toraja adalah berasal dari satu rumpun.
Mengenang
beberapa tahun silam dan terkesima dengan cerita Deng Marowa, seorang pensiunan
guru yang tinggal di Lemba Banggo, dekat BTS Telkomsel, Desa Osango, Kec.
Mamasa. Bahwa Mamasa itu bukanlah sekedar sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi
Barat. Tetapi kabupaten yang berhawa sejuk ini adalah salah satu pusat
peradaban manusia di masa lalu. Mungkin lebih dari itu, menurut Deng Marowa,
moyang orang Mamasa adalah, manusia-manusia pertama di muka bumi ini setelah
air bah- banjir besar -jaman Nabi Musa AS.
Bukan
sekedar bertutur, pria usia gaek, Deng Marowa itu mengeluarkan juga catatan
tentang hipotesanya itu dalam bentuk buku tebal yang telah ditulisnya
bertahun-tahun. Meskipun masih menggunakan mesin ketik manual, dimana karakter
“A”-nya sudah kabur. Tapi penulis dapat juga mencerna tulisan yang ratusan
halaman itu yang intinya adalah sejarah manusia-manusia pertama di Mamasa.
Dalam hipotesa-hipotesa antropologinya tersebut Deng Marowa juga member
gambaran kuat bahwa moyang orang Mamasa adalah nenek-neneknya orang-orang
Sulawesi yang juga merupakan manusia-manusia pertama di bumi. Mereka membangun
perdabannya secara terus menerus, menciptakan budaya, agama dan seni serta
menata pola-pola sosialnya dalam bentuk pemerintahan, kemudian hari di kenal dengan
kehadatan Mamasa.
Tentang asal usul orang Mamasa, hampir semua catatan tentang Mamasa menyebutkan, bahwa dalam kisaran cerita yang diturunkan secara turun temurun. Tentang enam orang bersaudara, berbadan besar dan tegak dari Ulu Sa’dang (wilayah ini dalam Kabupaten Tana Toraja, red.) berjalan melakukan pengembaraan. Mereka itu bernama Puang Rimulu,’ Mangkoana (Lando Belue’), Pongka Padang, Bombong Langi, Lando Guntu dan Lombeng Susu.
Tentang pertemuan
antara Pongka Padang dan To Rije’ne tersebut, selain perpaduan asmara dua
manusia, satu dari laut dan satu dari gunung. Secara tersirat menyimpulkan
adanya pertemua dua dunia budaya yang berbeda. To Rije’ne, bila dieja secara
sintaksis, To, berarti manusia atau orang, Rije’ne artinya dari air. Kosa kata
ini adalah bahasa Makassar, bahasa yang dipakai pada salah satu pusat kerajaan
dan budaya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Gowa. Dan disebutkan juga dalam
berbagai literatur bahwa dari Gowa adalah salah pusat penyebaran
manusia-manusia pertama di Sulawesi Selatan. Juga bila melihat nama-nama dari
sebelas cucu Pongka Padang – To Rije’ne, ada Daeng Matana di Mambi, Daeng Maroe
di Taramanu’ (Ulu Manda’), Daeng Kamahu di Sumahu, Daeng Maroe di Taramanu,
memiliki kemiripan dengan nama-nama orang Makassar.
Ditemukan beberapa kosa kata dalam bahasa Mamasa yang sangat identik dengan
Bahasa Makassar, misalnya “pira,” dan “allo.” Proses geminasi (penebalan) untuk
mengatakan “berapa hari” bahasa Mamasa menyebutnya “piranggallo,” identik
dengan Bahasa Makassar pada arti yang sama. Namun begitu untuk menarik satu
kesimpulan, empirik seperti ini butuh yang riset yang mendalam.
Catatan
tentang asal usul orang Mamasa dan budayanya menjadikan daerah yang terletak di
dataran tinggi Pulau Sulawesi ini adalah wilayah yang ternama di masa lalu.
Mamasa yang dulu masih kental dengan sebuta kawasan atau daerah Pitu Ulunna
Salu adalah moyang yang berdifusi secara luas ke seluruh suku-suku bangsa di
Pulau Sulawesi, khususnya pada Mandar, Bugis dan Makassar.
Karena itu
memiliki akar budaya yang kuat. Bahkan oleh kekuatan budayanya, Mamasa memili
perisinsipnya yang diturunkan oleh moyangnya, dimana orang Mamasa telah
diajarkan pola-pola kebersamaan dan kegotongroyongan yang dikenal dengan
istilah “Mesa Kada dipotuo, patang kada dipomate.” Ini adalah nalar lokal yang
memiliki akar yang kuat dan hidup dalam diri orang-orang Mamasa. Menjadikan
Mamasa daerah yang kental persaudaraaannya satu sama lain. Sehinga tidak persoalan
atau permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Karena orang-orang Mamasa
menjunjung tinggi norma-norma adat yang telah melingkupinya secara turun
temurun.
“Saya
melihat hal ini adalah kekuatan yang tidak ternilai harganya bila dikaitkan
dengan upaya-upaya percepatan pembangunan masyarakat Mamasa secara luas. Dimana
dengan akar budaya tersebut, pemerintah akan menempatkan dirinya sebagai
inspirator dan motivator dalam pembangunan. Tentunya dengan tetap kedepankan
etika-etika budaya yang berkembang di masyarakat, secara lansung dapat
memberikan kesepahaman yang sama, bahwa masyarakat itu bukan semata-mata
sebagai obyek pembangunan, tetapi juga adalah bagian terpentig bagi kemajuan
daerah ini. Artinya, masyarakat ditempatkan sebagai pelibat dan juga adalah
pelaku pembangunan.”
Begitu
dikatakan oleh Bupati Mamasa, H. Ramlan Badawi dalam melihat prospek untuk
membangun Mamasa dalam bingkai budaya, itu adalah upaya-upaya pemerintah daerah
membangun daerah ini secara seutuhnya. Dengan kata lain, bahwa masyarakat yang
sejatera itu, adalah sejahtera secara penuh atas ketersediaan kebutuhan jasmani
dan rohani. Atas beberapa frame-frame wacana di atas serta kekuatan nalar lokal
dan kemandirian budaya dan wilayah yang dimiliki oleh Mamasa, kenapa daerah
belum mendapat pengukuhan sebagai suku bangsa. Bahkan karena tidak mandirinya
tersebut, Mamasa masih dibayang-bayangi dintara Suku Toraja dan Mandar.
Pada
hal untuk menjadi suku bangsa disebutkan cirinya. Bahwa Kelompok etnik atau
suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama dentitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang
lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa,agama,
perilaku, dan ciri-ciri biologis. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas).
Hipotesa
lain yang bersumber dari beritadaerah.com, budaya sulawesi dan
alexnova-alex.blogspot.com, letak geografis dan historis kabupaten mamasa
mengisyaratkan Mamasa sebagai suku yang mandiri dengan menyebutkan, bahwa Suku
Mamasa, adalah suatu komunitas masyarakat asli yang berada di kabupaten Mamasa
di provinsi Sulawesi Barat. Masyarakat suku Mamasa tersebar di seluruh
kecamatan di kabupaten Mamasa. Selain itu populasi suku Mamasa juga terdapat di
kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Disebutkan pula, walaupun orang Mamasa
mengaku berdarah Toraja, tapi mereka cenderung lebih suka menyebut diri mereka
sebagai suku To Mamasa.
Selain itu
masyarakat Mamasa tidak memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana
upacara adat di Toraja. Orang-oran Mamasa dulu dan masih ada sebagian yang
mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur mereka, yang disebut
"Ada' Mappurondo" atau "Aluk Tomatua". Tradisi agama
tradisional ini tetap terpelihara dan terus terwariskan ke generasi berikutnya.
Tradisi dari Ada 'Mappurondo ini dilaksanakan terutama setelah panen padi
berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen mereka.
Ciri lain
Suku Mamasa yang spesifik dari agama tradisionalnya yaitu tradisi penguburan
orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang jenazah berjalan dengan
sendirinya menuju kuburan yang telah disiapkan. Mereka percaya bahwa semua
mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan berada di tempat yang sama dalam
kehidupan sesudahnya, Orang-orang Mamasa juga berbicara dalam bahasa Mamasa.
Bahasa Mamasa ini dikelompokkan ke dalam sub-dialek dari bahasa Toraja, karena
banyak terdapat kesamaan bahasa antara bahasa Mamasa dan bahasa Toraja.
Penutur-penutur Bahasa Mamasa dijumpai di sepanjang sungai Mamasa Provinsi
Sulawesi Barat. Bahasa Mamasa memiliki beberapa dialek, yaitu, dialek Mamasa
Utara, dialek Mamasa Tengah, dialek Pattae’ (Mamasa Selatan, Patta’ Binuang,
Binuang, Tae’, Binuang-Paki-Batetanga-Anreapi).
Sisi lain
dalam kehidupan orang Mamasa adalah memiliki rumah Adat, yang disebut sebagai
"Banua" yang berarti "rumah", terdiri dari 5 jenis rumah
dan digunakan berdasarkan tingkatan sosial, yaitu, Banua Layuk, “layuk” berarti
"tinggi", maka “Banua Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang berukuran
besar dan tinggi. Pemilik rumah ini merupakan pemimpin dalam masyarakat atau
bangsawan. Banua Layuk berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua dan
Tawalian. Semua berada di wilayah kecamatan Mamasa. Banua Sura, “sura” berarti
“ukir”, jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya tidak
seperti banua layuk. Penghuni rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan
bangsawan. Banua Bolong, “bolong” berarti “hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang
kaya dan pemberani dalam masyarakat. Banua Rapa, rumah ini memiliki warna asli
(tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh masyarakat biasa.Banua
Longkarrin, rumah bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas
dengan kayu (longkarrin), dihuni oleh masyarakat biasa.
Selain sebagai tempat
tinggal dan pusat kegiatan uapacara-upacara adat rumah bagi orang Mamasa
merupakan simbol eksistensinya. Namun kini akibat arus jaman, rumah-rumah adat
di Mamasa yang semakin lama semakin hilang.Walaupun
rumah adat Mamasa mirip dengan rumah adat Toraja, namun memiliki perbedaan yang
mendasar dengan rumah adat Toraja, yaitu rumah adat Mamasa memiliki atap kayu
yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung, sementara rumah adat
Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti karakter "U".
Masyarakat
Mamasa ini sebagaimana lazimnya di nusantara adalah masyarakat agraris hidup
pada hasil pertanian. Mereka bercocok taman, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar,
kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, sayur-sayuran dan berbagai jenis
buah-buahan. Mereka juga memiliki perkebunan yang ditanami kopi dan kakao yang
dikelola dengan cara tradisional. Di luar bidang pertanian, mereka juga
memelihara hewan ternak, seperti babi, kerbau, sapi, kuda, kambing, ayam dan
bebek.
Asal-usul
suku Mamasa menurut sebuah cerita rakyat yang terpelihara di kalangan suku
Mamasa, menceritakan bahwa "Nene' Torije'ne" (nenek moyang nenek)
datang dari laut dan "Nenek Pongkapadang" (nenek moyang kakek) datang
dari sebelah timur pegunungan pulau ini.
Mereka bertemu satu sama lain kemudian
pindah ke Buntu Bulo, di desa Tabulahan dekat kabupaten Mamuju.Menurut para peneliti, suku Mamasa ini dahulunya adalah berasal dari
orang-orang Toraja Sa'dan yang bermigrasi ke wilayah ini. Tumbuh dan berkembang
menjadi suatu komunitas yang sekarang lebih umum dikenal sebagai suku Mamasa.
Suku Mamasa, secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Perkembangan agama Kristen diterima oleh masyarakat suku Mamasa sekitar awal tahun 1900, oleh misionaris dari Belanda.
Suku Mamasa, secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Perkembangan agama Kristen diterima oleh masyarakat suku Mamasa sekitar awal tahun 1900, oleh misionaris dari Belanda.
Suku Mamasa berbicara dalam bahasa Mamasa. Bahasa Mamasa ini dikelompokkan ke
dalam sub-dialek dari bahasa Toraja, karena banyak terdapat kesamaan bahasa
antara bahasa Mamasa dan bahasa Toraja.
Bahasa
Mamasa diucapkan di daerah sepanjang sungai Mamasa kabupaten Polewali Mamasa
provinsi Sulawesi Barat.
Bahasa Mamasa memiliki beberapa dialek, yaitu:
- dialek Mamasa Utara
- dialek Mamasa Tengah
- dialek Pattae’ (Mamasa Selatan, Patta’ Binuang, Binuang, Tae’, Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi.
- Banua Layuk, “layuk” berarti "tinggi", maka “Banua Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang berukuran besar dan tinggi. Pemilik rumah ini merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan. Banua Layuk berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua dan Tawalian. Semua berada di wilayah kecamatan Mamasa
- Banua Sura, “sura” berarti “ukir”, jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya tidak seperti banua layuk. Penghuni rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan bangsawan
- Banua Bolong, “bolong” berarti “hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam masyarakat.
- Banua Rapa, rumah ini memiliki warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh masyarakat biasa.
- Banua Longkarrin, rumah bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas dengan kayu (longkarrin), dihuni oleh masyarakat biasa
Rumah adat Mamasa merupakan simbol eksistensi suku Mamasa saat ini, yang semakin lama semakin hilang oleh arus perubahan zaman. Rumah adat Mamasa mirip dengan rumah adat Toraja, perbedaannya yaitu rumah adat Mamasa memiliki atap kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung, sementara rumah adat Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf "U".
Masyarakat suku Mamasa hidup pada hasil pertanian, pada tanaman padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Mereka juga memiliki perkebunan yang ditanami kopi dan kakao yang dikelola dengan cara tradisional. Di luar bidang pertanian, mereka juga memelihara hewan ternak, seperti babi, kerbau, sapi, kuda, kambing, ayam dan bebek. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, dan juga dijual untuk menambah penghasilan keluarga.